Lynell Bookstore

Mengulas Gelar Musikal “Aku Chairil”

Mengulas Gelar Musikal “Aku Chairil”

Oleh Rudolf Puspa

Tidak dapat dipungkiri bahwa berada di atas panggung, baik dalam ruang sempit atau luas, selalu memberikan pengalaman yang kaya akan kenikmatan dari dalam maupun luar. Kenikmatan ini begitu sempurna hingga sulit untuk dijelaskan dengan kata-kata. Tantangannya terletak pada bagaimana menangkap kesempurnaan tersebut, yang ternyata tidak semudah itu, terutama ketika berkaitan dengan pertunjukan teater, atau yang lebih dikenal dengan istilah seni teater. Terlebih lagi, dalam sandiwara yang melibatkan lebih dari satu aktor, di mana dibutuhkan kolaborasi yang minimal di antara para pemeran. Tentu saja, kerjasama ini juga melibatkan tim artistik dan, lebih jauh, tim produksi. Di samping itu, terdapat hubungan dengan sekelompok orang yang disebut penonton atau penikmat.

Sejak awal, teater, baik yang konvensional maupun modern dan kontemporer, memiliki syarat dasar yaitu adanya cerita, pendongeng, dan pendengar atau penonton. Mengamati berbagai sandiwara rakyat yang telah ada di nusantara sejak sebelum kemerdekaan, kita dapat melihat kekuatan komunikasi dua arah yang terbangun, antara panggung dan penonton, yang menjadi kunci keberhasilan sandiwara rakyat dalam memenuhi kebutuhan masyarakat untuk berbagai alasan. Beberapa penonton mencari hiburan, pesan moral, tarian, atau lagu — semua elemen tersebut menyentuh hati penonton. Para pelaku sandiwara rakyat di masa lalu menunjukkan kemampuan luar biasa dalam berakting, sekaligus menyentuh harapan penonton. Jika diteliti lebih lanjut, hal ini tetap relevan hingga ke sandiwara masa kini.

Seiring berjalannya waktu dan kemajuan teknologi yang kian pesat, banyak hal dalam kehidupan berubah dan hal ini dapat berdampak buruk bagi mereka yang tidak menyadari bahwa perubahan teknologi tidak dapat dihindari. Sandiwara rakyat yang telah berjaya selama berabad-abad kini terancam, dan tentu saja diskusi tentang hal ini akan dibahas di kesempatan lain, terpisah dari ulasan mengenai pertunjukan di era sekarang.

Mengamati pertunjukan “Aku Chairil” karya Dolfry Inda Suri (Oi) dan Rudolf Puspa yang diproduksi oleh teater keliling generasi kedua pada tanggal 25 Mei 2024 di auditorium Galeri Indonesia Kaya jam 15.00 dan 19.00 WIB, bagi yang ingin menyaksikan baik yang sudah atau belum menonton langsung, dapat mengaksesnya di channel YouTube Galeri Indonesia Kaya. Kami sangat berharap untuk menerima kritik yang akan sangat berguna bagi produksi-produk yang akan datang. Saat ini, sulit untuk mengatakan bahwa tidak ada kritikus seni pertunjukan teater. Terima kasih kepada semua yang telah memberikan kritik, kami menyambutnya dengan lapang dada.

Satu hal menarik yang patut dicatat dari dua pertunjukan di GIK adalah terjalinnya komunikasi yang erat antara panggung dan auditorium. Dialog antara pemain dan penonton telah terjalin dari hati ke hati, hasil dari kerja keras seluruh pemain dan tim artistik yang terus menggali dan mengeksplorasi peran yang dimainkan. Tentunya, diperlukan waktu yang cukup panjang mengingat karakter yang diperankan adalah mereka yang hidup pada masa perjuangan revolusi untuk kemerdekaan bangsa dari penjajahan Belanda dan Jepang yang berlangsung selama ratusan tahun.

Semua pemain belum pernah mengenal langsung tokoh utama Chairil Anwar, sastrawan HB Yasin, Asrul Sani, dan Rivai Apin. Mereka juga tidak mengenal tiga teman remaja Chairil di Medan, serta orang tua Chairil, Toeloes dan Soleha. Tidak ada yang tahu tentang gadis Sumirat, salah satu perempuan yang membuat Chairil jatuh click here cinta, atau Hapsah, istri Chairil. Satu-satunya pemeran yang memiliki gambaran nyata tentang Chairil adalah Evawani, putri tunggal Chairil, yang kini berusia 76 tahun. Pemeran Eva berkesempatan untuk mengunjungi dan berbincang dengannya di rumahnya.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Shopping Cart